Jumat, 06 November 2009

Prinsip Estetik

Prinsip Estetik
Selain unsur senirupa juga ada unsur estetik, yaitu azas atau prinsip untuk mengubah atau merencana dalam proses mencipta nilai-nilai estetik dengan penerapan unsur-unsur senirupa. Untuk ini dibutuhkan rancangan (design), yang karenanya azas atau prinsip estetik sering disebut pula prinsip disain dalam proses mencipta karya.
Sebagai nilai estetik, prinsip estetik yang akan disebut dibawah ini tidak selalu harus berurutan dan lengkap. Penampilan prinsip estetik dari tiap kreator berbeda sesuai dengan pertimbangan pribadinya seperti yang terdapat dalam seni tradisional dan kesenian modern.
Rumusan prinsip estetik merupakan hukum atau kaidah seni yang berfungsi sebagai sumber acuan dalam berkarya seni. Tiap bangsa dan tiap zaman pada hakekatnya memiliki hukum seni yang berbeda.

Prinsip estetik atau prinsip disain:
1.Kesatuan (Unity)
dalam berkarya prinsip utama yang harus dipenuhi ialah prinsip kesatuan, untuk itu dalam merancang secara sempurna perlu dipikirkan keutuhan dan kesatuan antara semua unsur senirupa disamping keutuhan antara unsur seni dan gagasan (idea) sebagai landasan mencipta. Sebagai contoh penampilan prinsip kesatuan dalam karya senirupa; disain dalam arsitektur mencerminkan prinsip kesatuan apabila ada kesatuan antara bagian-bagian bentuk dari struktur bangunan, ada kesatuan antara ruang-ruang dan penggunaan warna, ada kesatuan antara bentuk bangunan dengan lingkungan, ada kesatuan antara bentuk dan fungsi bangunan sesuai dengan ide dasar.

2.Keseimbangan (Balance)
keseimbangan merupakan prinsip dan penciptaan karya untuk menjamin tampilnya nilai-nilai keselarasan dan keserasian yang mendukung prinsip kesatuan dengan menggunakan unsur-unsur seni. Karena fungsinya yang menampilkan nilai-nilai keserasian dan keselarasan maka prinsip ini juga sering disebut prinsip harmoni.

Ada tiga prinsip keseimbangan:
keseimbangan formal; pada karya menampilkan nilai keindahan yang bersifat formal atau resmi. Prinsip ini sering dipakai dalam karya seni yang berlandaskan agama atau kepercayaan dan dalam lingkungan tertentu untuk mendukung nilai-nilai kejiwaan seperti keagungan, kekhidmatan, kekhusukan dan sebagainya. Contoh penampilan prinsip keseimbangan formal dalam karya senirupa ialah dalam pembuatan disain yang simetris dan statis. Disain grafis untuk piagam atau ijazah yang simetris memberikan kesan resmi dan formal. Disain simetris ini juga dapat dipakai untuk mendirikan bangunan gereja seperti bagian atap, penempatan jendela dan tiang dan lain sebagainya. Demikian pula dalam menyusun komposisi garis, bidang, bentuk dan warna untuk karya-karya senirupa yang sifatnya resmi didasarkan pada komposisi yang simetris dan statis.
keseimbangan informal; pada karya menampilkan nilai kebalikan dari keseimbangan formal yaitu menghendaki sifat lincah, hidup, penuh dengan dinamika dan pada prinsip keseimbangan informal ini menghasilkan disain asimetris.
keseimbangan radial; disamping prinsip keseimbangan formal dan prinsip keseimbangan informal pada karya masih dapat ditemukan ciptaan yang berdasarkan prinsip keseimbangan yang lain, seperti keseimbangan radial yaitu keseimbangan yang memberikan kesan memusat atau sentral. Dalam prinsip keseimbangan radial terdapat unsur penting yang diletakkan di pusat pada rancangan disainnya. Pada karya senirupa dapat dikemukakan contoh yang banyak dijumpai pada arsitektur. Penempatan bagian-bagaian dari tiap jenjang yang tampak pada denah Candi Borobudur terasa adanya unsur utama dalam keseluruhan bangunan yang dipentingkan, yaitu induk stupa di puncak candi. Secara keseimbangan radial semua unsur dari candi itu secara fisik terpusatkan pada induk stupa di puncak.

3.Irama (Rhythm)
dalam penciptaan karya seni untuk menekankan keseimbangan yang mendukung gerak (movement) atau arah (direction) dengan menggunakan unsur-unsur seni. Irama dapat dihayati secara visual atau auditif jika ada gerak seperti yang dapat kita hayati pula di alam, misalnya irama dari gelombang laut, gerakkan gumpalan awan, gelombang suara dari angin dan lain sebagainya. Gerak atau arah tersebut dapat menggugah perasaan tertentu seperti keberaturan, berkelanjutan, dinamika dan sebagainya. Sesuai dengan kehadiran gerak dan arah tersebut maka irama yang tampil dalam karya meliputi:
irama berulang (repetitif): dapat dijumpai pada penempatan jendela atau pintu pada sebuah bangunan dengan jarak yang sama serta ukuran yang sama pula. Hal serupa dapat kita jumpai pada susunan bagian-bagian dari suatu taman yang serba berulang dan teratur sehingga menimbulkan kesan irama yang berulang.
irama silih berganti (alternatif): dipakai dalam penciptaan karya senirupa untuk tidak sekedar mengulang-ulang unsur-unsur seni dalam bentuk dan warna yang sama, tetapi mencari kemungkinan lain dalam usaha untuk menimbulkan kesan irama.
irama laju/ membesar atau mengecil (progresif): lebih mudah dapat dihayati dalam seni gerak. Dalam penempatan unsur-unsur garis, bentuk dan warna pada komposisi prinsip irama laju (progresif) dapat dicapai dengan jarak dan arah tertentu.
irama lamban atau beralun/ mengalir atau bergelombang: prinsip ini kebalikkan dari irama laju yang dapat dicapai dalam karya seni.

4. Proporsi
Adalah prinsip dalam penciptaan karya untuk menekankan hubungan satu bagian dengan bagian lain dalam usaha memperoleh kesatuan melalui penggunaan unsur-unsur seni.
Proporsi sebagai prinsip dalam penentuan nilai estetik, oleh seniman dipakai untuk memberikan kesan kesatuan bentuk ekspresi. Hal ini dapat dilaksanakan berdasarkan perhitungan matetamtis dan ilmiah seperti pada seni patung Yunani dn arsitektur Mesir, tapi juga berdasarkan emosi dan intusi sesuai dengan kebebasan seniman.
Hukum proporsi yang dikenal adalah golden section dari orang Yunani yang juga dipakai kembali oleh pematung dan pelukis pada masa Rennaissance. Sejak awal masa filsafat Yunani orang telah berusaha untuk menemukan hukum-hukum geometris didalam seni, karena apabila seni (yang menurut mereka identik dengan keindahan) adalah harmoni, sedangkan harmoni adalah proporsi yang cocok dari hasil pengamatan, tentulah masuk akal untuk menganggap bahwa proporsi-proporsi tersebut sudah tertentu. Maka proporsi geometris yang terkenal dengan nama golden section itu selama berabad-abad dipandang sebagai jawaban dari misteri seni ini dan ternyata pemakaiannya amat universal, tidak sekedar didalam seni tetapi juga di alam, yang pada suatu saat diperlakukan dengan menggunakan pandangan keagamaan.
Seringkali golden section dipergunakan untuk menentukan proporsi yang tepat antara panjang dan lebar pada empat persegi panjang pada jendela dan pintu-pintu, pigura-pigura serta buku atau majalah.
Di Bali kita kenal Hasta Kosala-Kosali yang berasal dari unit tubuh manusia untuk mengukur proporsi bangunan.

5. Aksentuasi/Dominasi (Emphasis)
Merupakan prinsip dalam penciptaan karya yang mengikat unsur-unsur seni dalam kesatuan. Prinsip aksentuasi menampilkan pusat perhatian dari seluruh kesatuan karya. Ada beberapa cara dalam menempatkan aksentuasi, yaitu:

pengelompokan yaitu dengan mengelompokkan unsur-unsur yang sejenis. Misalnya mengelompokkan unsur yang sewarna, sebentuk dan sebagainya.
Pengecualian yaitu dengan cara menghadirkan suatu unsur yang berbeda dari lainnya.
Arah yaitu dengan menempatkan aksentuasi sedemikian rupa sehingga unsur yang lain mengarah kepadanya.
Kontras yaitu perbedaan yang mencolok dari suatu unsur di antara unsur yang lain. Misalnya menempatkan warna kuning di antara warna-warna teduh.

desain

Disain
Kata design dalam kamus Indonesia-Inggris dari John M. Echols berarti: potongan, model, pola, konstruksi, mode, tujuan, rencana. Sedangkan dalam kamus Webster pengertian design adalah gagasan awal, rancangan, perencanaan, pola, susunan, rencana, proyek, hasil yang tepat, produksi, membuat, mencipta, menyiapkan, menyusun, meningkatkan, pikiran, maksud, kejelasan, dan seterusnya.
Untuk bidang senirupa dan ilmu kemudian diuraikan lagi menjadi: penataan elemen-elemen yang dipergunakan/ diperlukan dalam memproduksi suatu benda. Secara khusus maka senirupa, disain diartikan: merancang suatu benda dengan memperhatikan unsur-unsur estetis, fungsi, materi, cara pembuatan serta pemasaran.

Beberapa sikap pendekatan disain:
Sikap konformis: menganggap aktifitas mendisain sebagai suatu aktifitas yang berdiri sendiri, tanpa mempermasalahkan unsur-unsur sosio-kultural. Karakteristik mereka sebagai suatu kelompok adalah penggunaan warna-warna yang berani, pemanfaatan bahan-bahan baru dan tehnik-tehnik produksi massa yang baru. Masalah yang paling menarik bagi mereka adalah kualitas estetik suatu benda, sehingga mereka sering hanya memperindah bentuk dan menyempurnakan fungsi yang sudah pasti.

Sikap reformis: kelompok ini mempunyai perhatian yang besar terhadap peranan seorang disainer dalam masyarakat. Sikap konsumtif masyarakat dianggap sebagai suatu cara memperbesar kebahagiaan pribadi sehingga dengan demikian juga menjamin stabilitas sosial. Dilemanya adalah mereka menganggap dirinya sebagai ahli menciptakan benda-benda pakai, tapi mereka tidak ada kuasa untuk mengontrol penggunaannya. Mereka berpendapat bahwa tidak bisa ada revolusi disain sebelum ada perubahan struktur sosial, maka mereka menciptakan benda-benda dengan suatu komentar sosial.

Sikap kontestasi (berlomba): menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin dirancang terlepas dari sisi sosio-kulturalnya, maka selain menanggapi masalah estetika benda, juga ditanggapi estetika penggunaan benda itu, sehingga bisa muncul berbagai kegunaan. Maka benda-benda yang didisain lebih bersifat environmental, memungkinkan berbagai interaksi sosial dan memungkinkan interpretasi jamak.

Proses Disain
Masalah disain pada dasarnya baru muncul setelah adanya Revolusi Industri yang memunculkan pembagian pekerjaan dan spesialisasi. Suatu proses produksi yang sebelumnya dilaksanakan secara utuh oleh satu pribadi namun kini menjadi terbagi-bagi. Walau demikian, masing-masing spesialisasi tetap merupakan satu mata rantai dari suatu proses disainer dalam membuat disain.
Keterkaitan pada unsur lain dalam produksi, membuat seorang disainer harus memperhatikan tiga masalah pokok dalam membuat disain, yaitu:

Fungsi
Memberi batas pada
untuk apa benda itu dipakai
bagaimana mekanisme kerja benda itu
siapa yang akan mempergunakan benda itu

Modal
Besar kecilnya modal akan mempengaruhi bagaimana batasan yang telah diberikan oleh fungsi dapat dilaksanakan.

Persediaan bahan
Persediaan bahan akan mempengaruhi sebatas apa benda tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan keinginan dan bagaimana cara pembuatannya.

Secara praktis tiga hal ini dapat dijabarkan dalam tahapan disain (design Phase) dan proses disain (design process). Tahapan disain lebih merupakan tahapan kerja dalam mendisain, sedangkan proses disain lebih merupakan proses pemikiran.

Tahapan desain:
studi kelayakan (feasibility study)
pembatasan masalah
identifikasi faktor yang membatasi lingkup masalah
evaluasi kesulitan yang diantisipasi
pemikiran konsekuensi disain

desain awal (preliminary design)
pembuatan sketsa awal, disain awal sampai model

desain detail (rinci)
gambar kerja

Proses desain
formulasi ide
pengembangan ide
evaluasi dan percobaan
penjabaran

Secara lebih terperinci maka langkah-langkah dalam mendesain adalah:
Identifikasi masalah à pengumpulan data à penciptaan ide-ide à pembuatan model à analisa dan evaluasi à eksperimen à pemecahan masalah.

Keindahan Pada Desain
Keindahan pada karya desain, selain mengikuti kaidah-kaidah estetis seperti prinsip-prinsip disain dan nilai-nilai intrinsik seni, juga mengikuti kaidah lain yang ada pada benda pakai khususnya, yaitu kaidah fungsi.

Dalam menilai keindahan karya disain, secara khusus kita dapat menilai:

Keindahan bentuk
Keindahan bentuk disain pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip disain

Keindahan fungsi
Keindahan dalam fungsi dapat dikaitkan dengan kenyamanan pemakaian atau kebenaran mekanisme suatu benda pakai dalam menjalankan fungsinya. Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah apakah benda tersebut sudah memenuhi fungsinya dengan baik? Apakah dalam menjalankan fungsinya benda tersebut telah mengikuti mekanisme kerja yang logis dan nyaman? Perpaduan antara keduanya, yaitu keindahan fisik (bentuk) dengan keindahan fungsi, akan menimbulkan rasa senang yang ditimbulkan oleh suatu karya seni yang indah. Demikian maka rasa keindahan (sense of beauty) yang ada pada diri manusia akan tersentuh baik oleh karya disain, maupun oleh karya seni bebas.

Pengelompokan Profesi Disain
Kelompok 2 dimensi
Disian Grafis
Disain Tekstil

Kelompok 3 dimensi
Disain Produk
Disain Ruang
Disain Bangunan

Kelompok khusus
Disain Otomotif

Seni dan Keindahan

Seni dan Keindahan
1.Definisi Seni
Beberapa definisi dan pengertian kata seni:
Pengertian kata seni kita ambil dari Inggris art, yang berakar pada kata Latin ars, yang berarti: ”ketrampilan yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan atau proses belajar.” Dari akar kata ini kemudian berkembang pengertian yang diberikan oleh kamus Webster sebagai berikut: “penggunaan ketrampilan dan imajinasi secara kreatif dalam menghasilkan benda-benda estetis.” (Webster's Collegiate Dictionary, 1973, hal.63).

Pengertian lain diambil dari bahasa Belanda kunst, yang mempunyai definisi sebagai berikut: “suatu kesatuan secara struktural dari elemen-elemen estetis, kwalitas-kwalitas teknis dan ekpresi simbolis, yang mempunyai arti tersendiri dan tidak membutuhkan lagi pengesahan oleh unsur-unsur luar untuk pernyataan dirinya.” (Winkler Prins, hal.427).

Definisi seni Kamus Umum Bahasa Indonesia:
Kecakapan membuat (menciptakan) sesuatu yang elok-elok atau indah.
Sesuatu karya yang dibuat (diciptakan) dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak, lukisan, ukiran-ukiran dsb.

Teori-teori seni pada dasarnya dapat digolongkan dalam beberapa kelompok
pemikiran:
Teori Mimesis:
Teori-teori ini berpijak pada pemikiran bahwa seni adalah suatu usaha untuk menciptakan tiruan alam. Kata mimesis berasal dari kata Yunani dimana teori ini pertama kali dicetuskan oleh Plato.
Terjemahan yang tepat dari kata mimesis agak sukar dicari, karena bagi Plato mimesis ini tidak saja berlaku untuk senirupa melainkan juga berlaku untuk seni musik, drama dan sebagainya.
Teori mimesis ini amat penting dalam tinjauan seni karena setelah zaman Yunani konsep ini dihidupkan kembali dalam seni Renaissance dan sampai sekarng masih cukup berpengaruh.
Inti dari teori mimesis ini adalah perkembangan seni naturalis baik secara formal maupun sebagai pengenalan pengalaman.

Teori Instrumental:
Teori-teori ini berpijak pada pemikiran bahwa seni mempunyai tujuan tertentu dan bahwa fungsi dan aktivitas seni sangat menentukan dalam suatu karya seni. Misalnya fungsi-fungsi edukatif, fungsi-fungsi propaganda, religius dan sebagainya.
Cabang lain dari teori ini adalah seni sebagai sarana penyampaian perasaan, emosi dan sebagainya. Seni adalah sarana kita untuk mengadakan kontak dengan pribadi si seniman ataupun bagi seniman untuk berkomunikasi dengan kita.

Teori Formalistis:
Teori-teori ini merupakan reaksi terhadap kedua teori di atas karena menganggap bahwa keduanya tidak memberikan standar penilaian estetis. Mereka berpendapat bahwa elemen-elemen bentuk pada suatu karya seni juga memancarkan nilai-nilai estetis.

Teori-teori abad 20:
Teori-teori yang lebih praktis dan menitik beratkan pada kritik dan apresiasi. Seni adalah suatu tindakan kreatif, pertama-tama ia adalah suatu realita yang diciptakan dan kedua ia harus bisa memberikan kesempatan dan kemampuan untuk pnghayatan estetis.

kreatif

Apa sih arti seni itu di mata kamu?


Pasti terbayang seni itu sesuatu yang bersifat keindahan, bebas, tak mudah di pahami, atau pun apa lah... banyak


Ilmu saya tentang seni memang marih sedikit seperti debu yang tak berguna.... ataupun sampah..

Tak apa lah... Hehehe tapi saya siap berbagi dan menerima lebih banyak ilmu tentang seni...



aaauu

aaauu
aku lagi stres...

seni?

Keterasaan pada aktifitas seni rupa namun tak dinyatakan atau bahkan tak terdefinisikan sangat tidak adil bila diarahkan pada kesalahan. Begitu juga seni rupa yang gampang disusupi pada persoalan keterasaan yang minim dari ungkapan atau definisi terutama dari publik luas. Hal seperti ini mungkin hanya akan berlaku ketika keterasaan dan pengakuan pada apa itu seni rupa masih terkoptasi pada tradisi high art atau karya-karya ekspresi persoanal.ppd

How art made the world (bagaimana seni membentuk dunia) terbitan BBC mungkin bisa menjadi singgungan yang menarik dalam melihat persoalan terasa atau merasasakan. Sebuah kajian yang dipresentasikan Dr. Nigel Spivey mengupas bagaimana citra seni dimanfaatkan dan seni menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam membentuk dan membaca manusia saat mengenal realitas di sekitarnya. Namun demikian di sini saya tidak bermaksud membahas bagaimana film tersebut, melainkan mencoba memetik dan menganalogikan pandangan yang tersaji ke realitas pemanfaatan seni itu sendiri dalam ranah kehidupan.

2007

Salah satu kalimat yang menurut saya menarik dalam film tersebut adalah; “ How humans made art and art made human.” (bagaimana menusia membentuk seni dan seni membentuk manusia), atau rentangan kata yang menurut pandangan saya sangat dekat dengan peroses pernyataan keterasaan akan kekuatan citra melalui karya seni rupa. Kenapa persoalan yang diusung kalimat “How humans made art and art made human.” bisa berpotensi dan sangat dekat dengan peroses pernyataan keterasaan karya seni itu sendiri? Kejelasan yang telah ada akan lebih tampak lagi jika diurai dari praktek yang telah dicontohkan industrialisasi kapitalis terutama di ruang ruang publik seperti media cetak/elektronik, di pasar, jalanan bahkan di angkutan umum. Lebih tajamnya, jika ditelusuri dari sisi masyarakat yang berkomunikasi dengan karya seni para kapitalis itu sendiri, semisal billboard ceperalias papan iklan sebagai salah satu karya seni pilihan kapitalis, apa kira-kira yang terjadi pada masyarakat ketika melihatnya? Secara umum apa kemungkinan yang akan tergambar di benak setiap individu yang selalu berada di sekelilingnya? Jika mungkin ditarik salah satu indikator yang muncul saat masyarakat berkomunikasi dengan karya seni rupa tersebut, tak lain masyarakat akan memiliki kemampuan luar biasa untuk membaca kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Dan apa yang dilihatnya (karya seni kapitalis) itu juga seperti mampu memberi solusi dalam menutupi kekurangan yang terbaca tersebut (seperti iklan bedak, pembersih muka, pakaian, HP dan seterusnya). Tidak hanya itu, realitas-realitas imajiner yang dibangun karya seni tersebut dengan sendirinya terintegrasikan secara sadar atau tidak pada pola-pola kehidupan masyarakat. Alhasil prilaku yang terbentuk akibat pencitraan karya seni tersebut jelas berpotensi membangun konstruksi sosial masyarakat “baru” serta pencangkokan epistemologi metaforis buatan kapitalis. Pun demikian kinerjanya, juga disadari sangat tipis sekali kemungkinan akan masyarakat paham media yang mempengaruhi mereka tersebut merupakan karya seni yang selama ini mungkin dianggap remeh temeh. Inilah yang dimaksud keterasaan karya seni tetapi tidak dinyatakan secara eksplisit.

Kendati demikian, jangan heran dengan seniman/masyarakat seni lainnya yang biasannya menghadirkan karya seni untuk kepentingan ekspresi personal dapat diharapkan dapat bersaing dalam wilayah pencitraan nilai-nilai/pesan sosial dan usaha untuk mengembangkan wacana pencerdasan bagi masyarakat. Hal ini terjadi tentu bukan persoalan ketidakpekaan senimannya, melainkan bisa akibat pencitraan yang tak berimbang. Sebab bagaimanapun pemahaman penuh kesadaran yang berkembang pada publik akan seni yang untuk mereka apresiasi secara mendalam adalah karya yang biasanya dipayungi tradisi high art kendati yang sangat berperan banyak dalam membentuk pemahaman dan aktivitas publik itu sendiri adalah karya seni yang mampu menembus ruang publik seperti karya-karya seni kapitalis.

Sejauh pengamatan, kesadaran akan hal ini juga sudah menjadi bahasan di kalangan seniman dan pemerhati seni katakanlah Indonesia. Namun apakah dari sisi publik luas keterasaan pada karya seni itu perlu disadari seperti bagaimana pelaku/pecinta seni memahaminya? Atau menjadikan masyarakat tidak perlu mendefinisikan apa yang mereka lihat melainkan nikmati dan jalani saja tanpa ada defenisi atau intrupsi.

Harus diakui bahwa hampir seluruh ruang-ruang strategis seperti televisi, surat kabar, termasuk persimpangan jalan bahkan angkutan umum telah dimanfaatkan sebagai alat komunikasi komersial seperti di kota-kota besar terutama Jakarta. Luar biasa para kapitalis itu! terutama untuk memanfaatkan apa saja demi mengepung pandangan masyarakat dengan dagangannya. Namun di sudut lain ternyata terdapat celah bagi tumbuhnya kesadaran lain dalam memanfatkan ruang publik seperti angkutan umum itu sendiri. Kalu kita coba bermain dalam rangka menjelajahi pemanfaatan karya seni mungkin bisa kita lihat dari sudut kepulauan Indonesia, misalnya saja kota Padang. Awalnya roses kreatif yang dilakukan pemilik angkutan memang hanya untuk kepuasan personal. Namun seiring kesadaran akan pembacaan terhadap gejala publik akan kerja yang mereka lakukan berkembang untuk mengeser paradigma publik. Yaitu dengan menjadikan seni sebagai power dalam memikat perhatian konsumen (penumpang) dan singkat kata strategi merekapun berhasil. Lebih lanjutnya, pemilik angkutan umum yang menyentuh angkutannya dengan karya seni, secara mentalitas telah berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap angkutan itu sendiri. Biasanya masyarakat tidak memiliki keinginan untuk persoalan memilih-milih angkutan berubah menjadi orang yang selektif dalam memilih angkutan yang akan dinaikinya terutama kawula muda. Namun di sini hal yang sangat menarik adalah adanya kesadaran memanfaatkan seni untuk kepentingan pencitraan tentunya. Sehingga seni yang mereka bentuk dengan sendirinya telah mengkonstruksi pemahaman publik terhadap sesuatau itu sendiri—seperti pandangan terhadap angkutan umum.

Kembali pada sejauh apa seni berpengaruh terhadap masyarakat atau personal mungkin dapat diukur dari sejauh apa pula kepentingan dalam memahami dan memanfaatkan seni itu sendiri. Dengan kata lain, membaca bagaimana masyarakat memosisikan seni dalam merefleksikan pemikiran atau gaya hidupnya dan hal inilah kemudian dibaca sebagai kesadaran alamiah/arbiteris akan seni itu sendiri. Namun hal yang tentu lebih berkontribusi adalah praktek yang mengarah pada kepentingan pemanfaatan ruang-ruang strategis dan sebisanya menjadi proiritas terutama untuk kerja pembangunan konstruksi sosial. Sehingga sisi lain yang menyadari segala hal yang aktual jikalau keaktualan itu sendiri tidak dapat membantu publik luas untuk memahami relitas sekelilingnya, mari mencaci-maki keaktualan yang tak berguna tersebut. Sebab keterasaan pada karya seni bagi masyrakat jelas sudah terasa dampaknya kendati tidak dibebani dengan definisi. Namun setidaknya harapan akan kesadaran pemaknaan filosofis mengapa karya seni sangat berpengaruh bisa diintegrasikan dengan makna-makna praktis dalam memaknai karya seni dan realitas. Sehingga praktek simbolik yang sampai sekarang masih dianggap penting bisa terus dimanfaatkan untuk membantu mengungkap dan menjawab tantangan zaman yang konon katanya tak kenal iba.